Archive for Maret 2015
Selasa, 03 Maret 2015
Revolusi Perancis (bahasa
Perancis: Révolution française; 1789–1799), adalah suatu periode
sosial radikal dan pergolakan politik di Perancis yang memiliki dampak abadi terhadap sejarah Perancis, dan lebih luas lagi, terhadap Eropa secara keseluruhan. Monarki
absolut yang telah memerintah Perancis selama berabad-abad
runtuh dalam waktu tiga tahun. Rakyat Perancis mengalami transformasi sosial
politik yang epik; feodalisme, aristokrasi, dan monarki
mutlak diruntuhkan oleh kelompok politik radikal sayap kiri, oleh massa di jalan-jalan, dan oleh masyarakat petani di perdesaan.[1] Ide-ide lama yang berhubungan dengan tradisi dan hierarki monarki,
aristokrat, dan Gereja Katolik digulingkan secara tiba-tiba dan digantikan oleh
prinsip-prinsip baru; Liberté, égalité, fraternité (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan). Ketakutan terhadap penggulingan
menyebar pada monarki lainnya di seluruh Eropa, yang berupaya mengembalikan
tradisi-tradisi monarki lama untuk mencegah pemberontakan rakyat. Pertentangan
antara pendukung dan penentang Revolusi terus terjadi selama dua abad
berikutnya.
Di tengah-tengah krisis keuangan yang melanda Perancis, Louis XVI naik takhta pada tahun 1774. Pemerintahan Louis XVI yang tidak kompeten
semakin menambah kebencian rakyat terhadap monarki. Didorong oleh sedang
berkembangnya ide Pencerahan dan sentimen radikal, Revolusi Perancis pun dimulai
pada tahun 1789 dengan diadakannya pertemuan Etats-Généraux pada bulan Mei. Tahun-tahun pertama Revolusi Perancis diawali dengan
diproklamirkannya Sumpah Lapangan Tenis pada bulan Juni oleh Etats Ketiga, diikuti dengan serangan terhadap Bastille pada bulan Juli, Deklarasi Hak Asasi Manusia dan
Warga Negara pada bulan Agustus, dan mars kaum
wanita di Versailles yang memaksa istana kerajaan pindah kembali ke Paris
pada bulan Oktober. Beberapa tahun kedepannya, Revolusi Perancis didominasi
oleh perjuangan kaum liberal dan sayap kiri pendukung monarki yang berupaya
menggagalkan reformasi.
Sebuah negara republik didirikan pada bulan Desember 1792 dan Raja Louis XVI dieksekusi setahun
kemudian. Perang Revolusi Perancis dimulai pada tahun 1792 dan berakhir dengan kemenangan Perancis secara
spektakuler. Perancis berhasil menaklukkan Semenanjung Italia, Negara-Negara Rendah, dan sebagian besar wilayah di sebelah barat Rhine – prestasi terbesar Perancis selama berabad-abad.
Secara internal,
sentimen radikal Revolusi berpuncak pada naiknya kekuasaan Maximilien Robespierre, Jacobin, dan kediktatoran virtual oleh Komite Keamanan Publik selama Pemerintahan Teror dari tahun 1793 hingga 1794. Selama
periode ini, antara 16.000 hingga 40.000 rakyat Perancis tewas.[2] Setelah jatuhnya Jacobin dan pengeksekusian Robespierre, Direktori mengambilalih kendali negara pada 1795 hingga 1799, lalu ia digantikan
oleh Konsulat di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte pada tahun 1799.
Revolusi Perancis telah menimbulkan dampak yang mendalam terhadap
perkembangan sejarah Modern. Pertumbuhan republik dan demokrasi
liberal, menyebarnya sekularisme, perkembangan ideologi modern, dan penemuan gagasan perang total adalah beberapa warisan Revolusi Perancis.[3] Peristiwa berikutnya yang juga terkait dengan Revolusi ini adalah
Penyebab
Pemerintah Perancis menghadapi krisis keuangan pada
tahun 1780-an, dan Louis XVI dikritik karena tidak mampu menangani masalah ini.
Sebagian besar sejarawan berpendapat bahwa sebab utama Revolusi Perancis
adalah ketidakpuasan terhadap Ancien Régime. Lebih khusus, para sejarawan juga menekankan adanya konflik kelas dari
perspektif Marxis; hal yang umum terjadi pada akhir abad ke-19. Perekonomian yang tidak
sehat, panen yang buruk, kenaikan harga pangan, dan sistem transportasi yang
tidak memadai adalah hal-hal yang memicu kebencian rakyat terhadap pemerintah.
Rentetan peristiwa yang mengarah ke revolusi dipicu oleh kebangkrutan
pemerintah karena sistem pajak yang buruk dan utang yang besar akibat
keterlibatan Perancis dalam berbagai perang besar. Upaya Perancis dalam
menantang Inggris – kekuatan militer utama di dunia pada saat itu – dalam Perang Tujuh Tahun berakhir dengan bencana,
menyebabkan hilangnya jajahan Perancis di Amerika Utara dan hancurnya Angkatan Laut Perancis. Tentara Perancis dibangun kembali
dan kemudian berhasil menang dalam Perang Revolusi Amerika, namun perang
ini sangat mahal dan secara khusus tidak menghasilkan keuntungan yang nyata
bagi Perancis. Sistem keuangan Perancis terpuruk dan kerajaan tidak mampu
menangani utang negara yang besar. Karena dihadapkan pada krisis keuangan ini,
raja lalu memanggil Majelis Bangsawan pada tahun 1787, pertama kalinya selama lebih dari satu abad.
Sementara itu, keluarga kerajaan hidup nyaman di Versailles dan terkesan acuh tak acuh terhadap krisis yang semakin meningkat.
Meskipun secara teori pemerintahan Raja Louis XVI berbentuk monarki
absolut, namun dalam prakteknya ia sering ragu-ragu dan akan
mundur jika menghadapi oposisi yang kuat. Louis XVI memang berusaha mengurangi
pengeluaran pemerintah, namun lawannya di parlement berhasil menggagalkan upayanya untuk memberlakukan reformasi yang lebih
luas. Penentang kebijakan Louis semakin banyak dan berupaya menjatuhkan
kerajaan dengan berbagai cara, misalnya dengan membagikan pamflet yang
melaporkan informasi palsu dan dilebih-lebihkan untuk mengkritik pemerintah dan
aparatnya, yang semakin memperkuat opini publik dalam melawan monarki.[4]
Faktor lainnya yang dianggap sebagai penyebab Revolusi Perancis adalah
kebencian terhadap pemerintah, yang muncul seiring dengan berkembangnya
cita-cita Pencerahan. Ini termasuk kebencian terhadap absolutisme kerajaan; kebencian oleh masyarakat petani, buruh, dan kaum borjuis terhadap hak-hak istimewa yang dimiliki oleh kaum bangsawan; kebencian
terhadap Gereja Katolik atas pengaruhnya dalam kebijakan publik dan di
lembaga-lembaga negara; keinginan untuk memperjuangkan kebebasan beragama; kebencian para pendeta perdesaan
miskin terhadap uskup aristokrat; keinginan untuk mewujudkan kesetaraan sosial,
politik, ekonomi, serta (khususnya saat Revolusi berlangsung) republikanisme; kebencian terhadap Ratu Marie
Antoinette, yang dituduh sebagai seorang pemboros dan mata-mata Austria; serta kemarahan terhadap Raja karena memecat
bendahara keuangan Jacques Necker, salah satu orang yang dianggap sebagai wakil rakyat di kerajaan.[5]
Pra-revolusi
Krisis keuangan
Karikatur Etats Ketiga yang membawa Etats
Pertama (pendeta) dan Etats Kedua (bangsawan) di punggungnya.
Louis XVI naik takhta menjadi raja Perancis di tengah-tengah krisis
keuangan; negara sudah hampir bangkrut dan pengeluaran negara
melebihi pendapatan.[6] Krisis ini terutama sekali disebabkan oleh keterlibatan Perancis dalam Perang Tujuh Tahun dan Perang Revolusi Amerika.[7] Pada bulan Mei 1776, menteri keuangan Turgot dipecat setelah ia gagal melaksanakan reformasi keuangan. Setahun
kemudian, seorang warga asing bernama Jacques Necker ditunjuk menjadi Bendahara Keuangan. Necker tidak bisa menjadi menteri
keuangan resmi karena ia adalah seorang Protestan.
Necker menyadari bahwa sistem pajak di Perancis sangat regresif; masyarakat kelas bawah dikenakan pajak yang lebih besar,[8] sementara kaum bangsawan dan pendeta diberikan banyak pengecualian.[9] Necker beranggapan bahwa pembebasan pajak untuk kaum bangsawan dan pendeta
harus dikurangi, dan mengusulkan untuk meminjam lebih banyak uang agar
permasalahan keuangan negara bisa teratasi. Necker menerbitkan sebuah laporan
untuk mendukung anggapannya ini, yang menunjukkan bahwa defisit negara menembus
angka 36 juta livre. Necker juga mengusulkan pembatasan kekuasaan parlement.[8]
Usulan Necker ini tidak diterima dengan baik oleh para menteri Raja, dan
Necker, yang berharap bisa memperkuat posisinya, berpendapat bahwa ia harus
diangkat sebagai menteri, namun Raja menolaknya. Necker dipecat dan Charles
Alexandre de Calonne ditunjuk menjadi bendahara yang baru.[8] Calonne dengan cepat menyadari situasi keuangan negara yang sedang kritis
dan mengusulkan pembentukan kode pajak yang baru.[10]
Usulan Calonne ini termasuk penarikan pajak bumi yang konsisten, yang juga dipungut pada kaum
bangsawan dan pendeta. Karena ditentang oleh parlement, Calonne
mengadakan pertemuan dengan Majelis Bangsawan, berharap mendapat dukungan. Namun bukannya mendukung rencana Calonne,
Majelis malah melemahkan posisi Calonne dengan mengkritiknya. Sebagai
tanggapan, untuk pertama kalinya sejak 1614, Raja memanggil Etats-Généraux pada bulan
Mei 1789. Pemanggilan ini sekaligus menjadi pertanda bahwa monarki
Bourbon sedang dalam keadaan lemah dan tunduk pada tuntutan
rakyatnya.[11]
Etats-Généraux 1789
Etats-Généraux (wakil rakyat
dari berbagai golongan) terbagi menjadi tiga golongan (etats): pendeta (Etats
Pertama), kaum bangsawan (Etats Kedua), dan sisanya adalah rakyat biasa
Perancis (Etats Ketiga).[12] Dalam pertemuan terakhir Etats-Généraux pada tahun 1614,
masing-masing golongan memiliki satu suara, dan dua diantaranya bisa
membatalkan suara ketiga. Parlement Paris khawatir bahwa pemerintah akan
berusaha meng-gerrymander majelis untuk mencurangi hasil. Oleh sebab itu, mereka memutuskan bahwa
susunan Etats harus sama dengan susunan 1614.[13] Aturan Etats 1614 ini berbeda dengan praktek pada majelis daerah;
di daerah-daerah, masing-masing anggota memiliki satu suara dan Etats
Ketiga memiliki anggota dua kali lipat lebih banyak dari Etats lainnya.
Sebagai contoh, di Dauphiné, majelis provinsi sepakat untuk menggandakan jumlah anggota Etats
Ketiga, mengadakan pemilihan keanggotaan, dan memperbolehkan satu suara per
anggota, bukannya satu suara per etats.[14]
Sebelum
pertemuan berlangsung, "Komite Tiga Puluh", sebuah kelompok liberal
yang beranggotakan warga Paris, mulai melakukan agitasi terhadap suara etats.
Kelompok ini sebagian besarnya terdiri dari orang-orang kaya, dan mereka
berpendapat bahwa sistem suara di Etats-Généraux harus sama dengan
sistem yang berlaku di Dauphiné. Kelompok ini beranggapan bahwa sistem lama
sudah tidak efisien karena "rakyatlah yang berdaulat".[15] Necker lalu menggelar Sidang Kedua Majelis, yang menghasilkan keputusan
penolakan terhadap usulan perwakilan ganda, dengan suara 111-333.[15][16]
Pemilihan
diadakan pada musim semi 1789; persyaratan hak pilih untuk Etats Ketiga
adalah harus laki-laki kelahiran Perancis atau naturalisasi, setidaknya berusia 25 tahun, berkediaman di lokasi tempat pemilihan
berlangsung, dan membayar pajak.
Pour être
électeur du tiers état, il faut avoir 25 ans, être français ou naturalisé, être
domicilié au lieu de vote et compris au rôle des impositions.[17]
Pemilihan menghasilkan 1.201 delegasi, yang terdiri dari: 291 bangsawan,
300 pendeta, dan 610 anggota Etats Ketiga.[16] Untuk mengarahkan delegasi, "Dokumen Keluhan" (Cahiers de
Doléances) disusun sebagai pengarah yang memuat daftar permasalahan yang
dihadapi negara.[12][13][18]
Pamflet yang disebarkan oleh para bangsawan dan pendeta liberal semakin
merebak setelah dicabutnya penyensoran pers.[15] Abbé Sieyès, seorang teoretikus dan pendeta Katolik, berpendapat mengenai betapa
pentingnya keberadaan Etats Ketiga dalam pamflet Qu'est-ce que le
tiers état? (bahasa Inggris: "What is the
Third Estate?"), yang diterbitkan pada bulan Januari 1789. Ia
menegaskan: "Apa itu Etats Ketiga? Segalanya. Apa posisinya dalam
tatanan politik? Tidak ada. Ia ingin menjadi apa? Sesuatu."[13][19]
Etats-Généraux kembali menggelar pertemuan di Grands Salles des Menus-Plaisirs, Versailles, pada tanggal 5 Mei 1789. Pertemuan ini dibuka dengan pidato tiga jam oleh
Necker. Etats Ketiga menuntut agar verifikasi deputi secara kredensial
harus dilakukan bersama oleh semua deputi, bukannya masing-masing etats
memverifikasi anggotanya secara internal; negosiasi dengan etats lainnya
gagal mewujudkan hal ini.[18] Golongan rakyat jelata bersitegang dengan kaum pendeta yang menjawab kalau
mereka membutuhkan lebih banyak waktu untuk memutuskan. Necker pada akhirnya
memutuskan bahwa setiap etats harus memverifikasi anggotanya
masing-masing dan "Raja bertindak sebagai penengah".[20] Namun, negosiasi dengan dua etats lainnya tetap tidak berhasil.[21]
Majelis Nasional (1789)
Pada 10 Juni 1789, Abbé Sieyès pindah keanggotaan menjadi Etats
Ketiga, dan sekarang mengikuti pertemuan sebagai Communes (Rakyat
Biasa). Ia mengajak dua etats lainnya untuk ikut serta, namun ajakannya
ini tidak diindahkan.[22] Etats Ketiga yang sekarang menjadi lebih radikal mendeklarasikan
diri sebagai Majelis
Nasional, majelis yang bukan berasal dari etats, namun
dari golongan "Rakyat". Mereka mengajak yang lainnya untuk bergabung,
namun menegaskan bahwa "dengan atau tanpa bantuan, mereka tetap akan
mengatasi permasalahan bangsa."[23]
Dalam upayanya untuk tetap mengontrol dan mencegah Majelis mengadakan
pertemuan, Louis XVI memerintahkan penutupan Salle des États, tempat Majelis
biasanya mengadakan pertemuan. Di saat yang bersamaan, cuaca tidak memungkinkan
Majelis untuk menggelar pertemuan di luar ruangan, sehingga Majelis pada
akhirnya memindahkan pertemuan mereka ke sebuah lapangan tenis dalam ruangan. Di tempat ini, mereka mengambil Sumpah Lapangan Tenis pada 20 Juni 1789, yang menyatakan bahwa Majelis tidak akan berpisah
hingga mereka bisa memberikan sebuah konstitusi bagi Perancis.[24]
Mayoritas perwakilan pendeta segera bergabung dengan Majelis, serta 47
orang dari kaum bangsawan. Pada tanggal 27 Juni, pihak kerajaan secara
terang-terangan telah menunjukkan penentangannya terhadap Majelis, dan sejumlah
besar pasukan militer mulai diterjunkan ke seantero Paris dan Versailles. Dukungan bagi Majelis juga mengalir dari warga Paris dan
dari kota-kota lainnya di Perancis. Pada tanggal 9 Juli, majelis itu disusun
kembali menjadi Majelis
Konstituante Nasional.[24]
Majelis Konstituante Nasional (1789–1791)
Sementara itu, Necker semakin dimusuhi oleh keluarga kerajaan Perancis
karena dianggap memanipulasi opini publik secara terang-terangan. Ratu Marie
Antoinette, adik Raja Comte
d'Artois, dan anggota konservatif lainnya dari dewan privy mendesak Raja agar memecat Necker sebagai penasihat keuangan. Pada 11 Juli
1789, setelah Necker menerbitkan laporan keuangan pemerintah kepada publik,
Raja memecatnya, dan segera merestrukturisasi kementerian keuangan tidak lama
berselang.
Kebanyakan warga Paris menganggap bahwa tindakan Louis secara tak langsung
ditujukan pada Majelis dan segera memulai pemberontakan terbuka setelah mereka
mendengar kabar tersebut pada keesokan harinya. Mereka juga khawatir terhadap
banyaknya tentara – kebanyakan tentara asing – yang ditugaskan untuk
menutup Majelis Konstituante Nasional. Dalam sebuah pertemuan di Versailles,
Majelis bersidang secara non-stop untuk berjaga-jaga jika nanti tempat
pertemuan digusur secara tiba-tiba. Paris dengan cepat dipenuhi oleh berbagai
kerusuhan, kekacauan, dan penjarahan. Massa juga mendapat dukungan dari
beberapa Garda Perancis yang dipersenjatai dan dilatih sebagai tentara.[26]
Deklarasi Hak Asasi Manusia dan
Warga Negara, 26 Agustus 1789.
Pada tanggal 14 Juli, para pemberontak mengincar sejumlah besar senjata dan
amunisi di benteng dan penjara Bastille, yang juga dianggap sebagai simbol kekuasaan monarki. Setelah beberapa jam
pertempuran, benteng jatuh ke tangan pemberontak pada sore harinya. Meskipun
terjadi gencatan senjata untuk mencegah pembantaian massal, Gubernur Marquis Bernard de Launay dipukuli, ditusuk, dan dipenggal, kepalanya diletakkan di ujung tombak dan
diarak ke sekeliling kota. Walaupun hanya menahan tujuh tahanan (empat pencuri,
dua bangsawan yang ditahan karena tindakan tak bermoral, dan seorang tersangka
pembunuhan), Bastille telah menjadi simbol kebencian terhadap Ancien Régime. Di Hôtel de Ville (balai kota), massa menuduh prévôt des marchands (setara dengan wali kota) Jacques de Flesselles sebagai pengkhianat, dan membantainya.[27]
Raja Louis yang khawatir dengan tindak kekerasan terhadapnya mundur untuk
sementara waktu. Marquis de la Fayette mengambilalih komando Garda
Nasional di Paris. Jean-Sylvain Bailly, presiden Majelis pada saat Sumpah Lapangan Tenis, menjadi wali kota di bawah struktur pemerintahan baru yang dikenal dengan
komune. Raja mengunjungi Paris pada tanggal 17 Juli dan menerima sebuah simpul
pita triwarna, diiringi dengan teriakan Vive la Nation
("Hidup Bangsa") dan Vive le Roi ("Hidup Raja").[28]
Necker kembali
menduduki jabatannya, namun kejayaannya berumur pendek. Necker memang seorang
ahli keuangan yang cerdik, namun sebagai politisi, ia kurang terampil. Necker
dengan cepat kehilangan dukungan rakyat setelah menuntut amnesti umum.[29]
Setelah kemenangan Majelis, situasi di Perancis masih tetap memburuk.
Kekerasan dan penjarahan terjadi di seantero negeri. Kaum bangsawan yang
mengkhawatirkan keselamatan mereka berbondong-bondong pindah ke negara
tetangga. Dari negara-negara tersebut, para émigré ini mendanai kelompok-kelompok kontra-revolusi di Perancis dan mendesak
monarki asing untuk memberikan dukungan pada kontra-revolusi.[30]
Pada akhir Juli, semangat kedaulatan rakyat telah menyebar di seluruh Perancis. Di daerah pedesaan, rakyat jelata
mulai membentuk milisi dan mempersenjatai diri melawan invasi asing: beberapa
di antaranya menyerang châteaux kaum bangsawan sebagai bagian dari pemberontakan agraria umum yang dikenal
dengan "la Grande Peur" ("Ketakutan Besar"). Selain itu, rumor liar dan paranoia kolektif menyebabkan meluasnya
kerusuhan dan kekacauan sipil yang berkontribusi terhadap runtuhnya hukum dan
kacaunya ketertiban.[31]
Perumusan konstitusi baru
Pada tanggal 4 Agustus 1789, Majelis Konstituante Nasional menghapuskan feodalisme (meskipun pada saat itu telah terjadi pemberontakan petani yang hampir
mengakhiri feodalisme). Keputusan ini dituangkan dalam dokumen yang dikenal
dengan Dekrit Agustus, yang menghapuskan seluruh hak istimewa kaum Estate Kedua dan hak dîme (menerima zakat) yang dimiliki oleh Estate Pertama. Hanya dalam waktu
beberapa jam, bangsawan, pendeta, kota, provinsi, dan perusahaan kehilangan
hak-hak istimewanya.
Pada tanggal 26 Agustus 1789, Majelis menerbitkan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan
Warga Negara, yang memuat pernyataan prinsip, bukannya konstitusi
dengan efek hukum. Majelis Konstituante Nasional tidak hanya berfungsi sebagai legislatif, namun juga sebagai badan untuk menyusun konstitusi
baru.
Necker, Mounier, Lally-Tollendal dan yang lainnya tidak berhasil mencapai
kesepakatan dengan senat, yang keanggotaannya ditunjuk oleh Raja dan dicalonkan
oleh rakyat. Sebagian besar bangsawan mengusulkan agar majelis
tinggi dipilih oleh kaum bangsawan. Sidang segera dilakukan
pada hari itu, yaang memutuskan bahwa Perancis akan memiliki majelis tunggal
dan unikameral. Kekuasaan Raja terbatas hanya untuk "menangguhkan veto"; ia bisa menunda implementasi undang-undang, namun tidak bisa
membatalkannya. Pada akhirnya, Majelis menggantikan provinsi bersejarah di Perancis dengan 83 départements, yang dikelola secara
seragam menurut daerah dan jumlah penduduk.
Di tengah kegiatan Majelis yang disibukkan dengan urusan konstitusional,
krisis keuangan terus berlanjut, sebagian besarnya belum terselesaikan, dan defisit negara semakin meningkat. Honoré Mirabeau kemudian memimpin gerakan untuk mengatasi permasalahan ini, dan Majelis
memberi Necker hak penuh untuk mengelola keuangan negara.
Mars perempuan di Versailles
Lukisan Mars perempuan di Versailles, 5 Oktober 1789.
Dipicu oleh rumor telah diinjak-injaknya simpul pita nasional saat
penerimaan pengawal Raja pada tanggal 1 Oktober 1789, kerumunan perempuan mulai
berkumpul di pasar Paris pada tanggal 5 Oktober 1789. Kerumunan pertama
berbaris menuju Hôtel de Ville, menuntut agar pejabat kota segera menindak
permasalahan mereka.[32] Para perempuan ini mencurahkan segala permasalahan ekonomi yang mereka
hadapi, terutama masalah kekurangan roti. Mereka juga menuntut agar kerajaan
menghentikan upayanya dalam memblokir Majelis Nasional, dan menyerukan agar
Raja dan keluarganya segera pindah ke Paris sebagai bentuk itikad baik dalam
mengatasi kemiskinan yang semakin meluas.
Karena mendapatkan respon yang tidak memuaskan dari pejabat kota, sebanyak
7.000 wanita bergerak menuju Versailles dengan membawa meriam dan berbagai senjata ringan. Sekitar 20.000 pasukan Garda Nasional di
bawah komando La Fayette ditugaskan untuk mengawasi jalannya protes, namun
situasi menjadi tidak terkendali. Massa yang marah menyerbu istana, membunuh
beberapa penjaga. La Fayette akhirnya berhasil membujuk Raja untuk menyetujui
permintaan massa, dan Raja beserta keluarganya bersedia untuk kembali ke Paris.
Pada tanggal 6 Oktober 1789, Raja dan keluarga kerajaan pindah dari Versailles
ke Paris di bawah "perlindungan" dari Garda Nasional.[33]
Revolusi dan Gereja
Dalam karikatur ini, biarawan dan biarawati menikmati
kebebasan mereka setelah dekrit 16 Februari 1790.
Revolusi ini menyebabkan perubahan besar kekuasaan, dari yang sebelumnya
dikuasai oleh Gereja Katolik Roma menjadi dikuasai negara.
Berdasarkan Ancien Régime, Gereja menjadi pemilik tanah
terbesar di Perancis, memiliki sekitar 10% tanah kerajaan.[34] Gereja dibebaskan dari kewajiban membayar pajak kepada pemerintah, dan
juga berhak menerima dîme (zakat) 10% dari pajak penghasilan, seringkali dikumpulkan dalam
bentuk bahan pangan, dan hanya sebagian kecil dari dîme tersebut yang
diberikan kepada masyarakat miskin.[34] Kekuatan dan kekayaan Gereja yang begitu besar telah menimbulkan kebencian
dari beberapa kelompok. Kelompok minoritas penganut Protestan yang tinggal di Perancis seperti Huguenots, menginginkan rezim yang anti-Katolik dan berhasrat untuk membalas dendam
kepada para pendeta yang melakukan diskriminasi terhadap mereka. Pemikir
Pencerahan seperti Voltaire membantu mengobarkan semangat anti-Katolik dengan
merendahkan Gereja Katolik dan mendestabilisasi monarki Perancis.[35] Menurut sejarawan John McManners, "Pada abad kedelapan belas, takhta Perancis dan altar berhubungan
erat; dan hubungan ini runtuh..."[36]
Kebencian terhadap Gereja melemah kekuatannya saat dibukanya pertemuan Etats-Généraux
pada bulan Mei 1789. Gereja memiliki sekitar 130.000 anggota pendeta dalam Etats
Pertama. Ketika Majelis
Nasional didirikan pada bulan Juni 1789 oleh Etats
Ketiga, para pendeta memilih untuk bergabung dengan Majelis.[37] Majelis Nasional mulai memberlakukan reformasi sosial dan ekonomi.
Undang-undang baru pada tanggal 4 Juli 1789 menghapuskan kewenangan gereja
untuk memungut zakat. Dalam upayanya untuk mengatasi krisis keuangan, pada
tanggal 2 November 1789, Majelis memutuskan bahwa properti Gereja menjadi
"milik negara".[38] Properti ini digunakan untuk mendukung peredaran mata uang baru, assignats. Dengan demikian, mulai saat itu keberlangsungan Gereja juga menjadi
tanggungjawab negara, termasuk membayar para pendeta untuk merawat orang-orang
miskin, orang sakit, dan yatim piatu.[39] Pada bulan Desember, Majelis mulai menjual tanah-tanah milik Gereja kepada
penawar tertinggi untuk meningkatkan pendapatan negara. Hal ini efektif
menaikkan nilai assignats sebesar 25% dalam waktu dua tahun.[40] Pada musim gugur 1789, undang-undang baru yang menghapuskan sumpah monastik dirumuskan, dan pada 13 Februari 1790, semua ordo keagamaan dibubarkan.[41] Para biarawan dan biarawati disarankan untuk kembali ke kehidupan pribadi mereka, dan beberapa di
antaranya akhirnya menikah.[42]
Konstitusi
Sipil Pendeta, yang disahkan pada tanggal 12 Juli 1790, menetapkan
bahwa pendeta adalah pekerja negara. Keputusan ini membentuk sistem pemilihan
pastor dan uskup paroki, serta menetapkan upah bagi para pendeta. Sebagian
besar pendeta Katolik keberatan dengan sistem pemilihan ini karena hal itu
berarti bahwa mereka secara efektif menolak otoritas Paus di Roma atas Gereja Perancis. Akhirnya, pada bulan
November 1790, Majelis Nasional mulai mewajibkan "sumpah setia pada
Konstitusi Sipil" bagi semua pendeta Katolik.[42] Hal ini menyebabkan timbulnya perpecahan antara pendeta yang mengambil
sumpah dengan pendeta yang tetap setia kepada Paus. Secara keseluruhan, 24%
dari semua pendeta di Perancis telah mengambil sumpah.[43] Pendeta yang menolak bersumpah setia pada konstitusi akan "dibuang,
dideportasi secara paksa, atau dieksekusi dengan tuduhan pengkhianat."[40] Paus Pius VI tidak pernah mengakui Konstitusi Sipil Pendeta ini,
yang berakibat pada semakin terisolasinya Gereja Perancis. Selama Pemerintahan Teror, upaya besar-besaran
de-Kristianisasi di Perancis terjadi, termasuk memenjarakan dan membantai para
pendeta, serta pengrusakan Gereja dan gambar-gambar relijius di seluruh
Perancis. Upaya untuk menggantikan kedudukan Gereja Katolik dilakukan, misalnya
dengan mengganti festival agama dengan festival sipil. Pembentukan Kultus Alasan adalah langkah terakhir dalam de-Kristenisasi radikal di Perancis.
Peristiwa ini menyebabkan munculnya kekecewaan dan penentangan terhadap
Revolusi di seluruh Perancis. Warga seringkali menolak de-Kristenisasi dengan
cara menyerang agen revolusioner dan menyembunyikan pendeta yang sedang diburu.
Pada akhirnya, Robespierre dan Komite Keamanan Publik dipaksa untuk menentang kampanye dengan menggantikan Kultus Alasan dengan deisme, walaupun masih non-Kristen.[44] Konkordat 1801 antara Napoleon dan Gereja mengakhiri periode
de-Kristenisasi dan mulai membentuk aturan-aturan yang mengatur mengenai
hubungan antara Gereja Katolik dengan negara, yang tetap berlaku hingga tahun
1905, kemudian diubah oleh Republik Ketiga dengan
memisahkan urusan Gereja dengan urusan negara pada tanggal 11 Desember 1905.
Penganiayaan terhadap pendeta menyebabkan munculnya gerakan-gerakan
kontra-revolusi, yang berpuncak dalam Pemberontakan Vendee.
Kemunculan berbagai faksi
Faksi-faksi dalam majelis tersebut mulai bermunculan. Kaum ningrat Jacques
Antoine Marie Cazalès dan pendeta Jean-Sifrein Maury memimpin yang kelak dikenal sebagai sayap kanan yang menentang revolusi. "Royalis Demokrat"
atau Monarchien, bersekutu dengan Necker, cenderung mengorganisir Perancis
sejajar garis yang mirip dengan model Konstitusi
Inggris: mereka termasuk Jean Joseph Mounier, Comte de
Lally-Tollendal, Comte de
Clermont-Tonnerre, dan Pierre Victor Malouet, Comte de Virieu.
"Partai
Nasional" yang mewakili faksi tengah atau kiri-tengah majelis tersebut
termasuk Honoré Mirabeau, Lafayette, dan Bailly; sedangkan Adrien Duport, Barnave dan Alexander Lameth mewakili pandangan yang lebih ekstrem. Yang hampir sendiri dalam
radikalismenya di sisi kiri adalah pengacara Arras Maximilien Robespierre.
Sieyès memimpin pengusulan legislasi pada masa ini dan berhasil menempa konsensus
selama beberapa waktu antara pusat politik dan pihak kiri.
Di Paris, sejumlah komite, wali kota, majelis perwakilan, dan
distrik-distrik perseorangan mengklaim otoritas yang bebas dari yang. Kelas
menengah Garda
Nasional yang juga naik pamornya di bawah Lafayette juga
perlahan-lahan muncul sebagai kekuatan dalam haknya sendiri, begitupun majelis
yang didirikan sendiri lainnya.
Melihat model Deklarasi Kemerdekaan Amerika
Serikat, pada tanggal 26 Agustus 1789, majelis mendirikan Deklarasi Hak
Asasi Manusia dan Warganegara. Seperti
Deklarasi AS, deklarasi ini terdiri atas pernyataan asas daripada konstitusi dengan pengaruh resmi.
Ke arah konstitusi
Majelis Konsituante Nasional tak hanya berfungsi sebagai legislatur, namun juga sebagai badan untuk mengusulkan konstitusi baru.
Necker, Mounier, Lally-Tollendal, dll tidak berhasil mengusulkan sebuah senat, yang anggotanya diangkat oleh raja pada pencalonan rakyat. Sebagian besar
bangsawan mengusulkan majelis
tinggi aristokrat yang dipilih oleh para bangsawan. Kelompok
rakyat menyatakan di hari itu: Perancis akan memiliki majelis tunggal dan
unikameral. Raja hanya memiliki "veto suspensif": ia dapat menunda
implementasi hukum, namun tidak bisa mencabutnya sama sekali.
Rakyat Paris menghalangi usaha kelompok Royalis untuk mencabut tatanan baru
ini: mereka berbaris di Versailles pada tanggal 5 Oktober 1789. Setelah sejumlah perkelahian dan insiden, raja dan keluarga kerajaan
merelakan diri dibawa kembali dari Versailles ke Paris.
Majelis itu
menggantikan sistem provinsi dengan 83 département, yang
diperintah secara seragam dan kurang lebih sederajat dalam hal luas dan
populasi.
Awalnya
dipanggil untuk mengurusi krisis keuangan, hingga saat itu majelis ini
memusatkan perhatian pada masalah lain dan hanya memperburuk defisit itu.
Mirabeau kini memimpin gerakan itu untuk memusatkan perhatian pada masalah ini,
dengan majelis itu yang memberikan kediktatoran penuh dalam keuangan pada Necker.
Ke arah Konstitusi Sipil Pendeta
Ke tingkatan yang tidak lebih sempit, majelis itu memusatkan perhatian pada
krisis keuangan ini dengan meminta bangsa mengambil alih harta milik gereja
(saat menghadapi pengeluaran gereja) melalui hukum tanggal 2 Desember 1789. Agar memonter sejumlah besar harta benda itu dengan cepat,
pemerintah meluncurkan mata uang kertas baru, assignat, diongkosi dari tanah gereja yang disita.
Legislasi lebih lanjut pada tanggal 13 Februari 1790 menghapuskan janji biara. Konstitusi
Sipil Pendeta, yang disahkan pada tanggal 12 Juli 1790 (meski tak ditandatangani oleh raja pada tanggal 26 Desember 1790), mengubah para pendeta yang tersisa sebagai pegawai negeri dan meminta
mereka bersumpah setia pada konstitusi. Konstitusi
Sipil Pendeta juga membuat gereja Katolik sebagai tangan negara
sekuler.
Menanggapi legislasi ini, uskup agung Aix dan uskup Clermont memimpin
pemogokan pendeta dari Majelis Konstituante Nasional. Sri Paus tak pernah menyetujui rencana baru itu, dan hal ini menimbulkan perpecahan
antara pendeta yang mengucapkan sumpah yang diminta dan menerima rencana baru
itu ("anggota juri" atau "pendeta konstitusi") dan
"bukan anggota juri" atau "pendeta yang keras hati" yang
menolak berbuat demikian.
Dari peringatan Bonjour ke kematian Mirabeau
Untuk diskusi
lebih detail tentang peristiwa antara 14 Juli 1790 - 30 September 1791, lihat Dari
peringatan Bastille ke kematian Mirabeau.
Majelis itu
menghapuskan perlengkapan simbolik ancien régime, baringan lapis baja,
dll., yang lebih lanjut mengasingkan bangsawan yang lebih konservatif, dan
menambahkan pangkat émigré.
Pada tanggal 14 Juli 1790, dan beberapa hari berikutnya, kerumuman di Champ-de-Mars memperingati jatuhnya Bastille; Talleyrand melakukan sumpah massal untuk
"setia pada negara, hukum, dan raja"; raja dan keluarga raja ikut
serta secara aktif.
Para pemilih
awalnya memilih anggota Dewan Jenderal untuk bertugas dalam setahun, namun dengan Sumpah Lapangan Tenis, commune tersebut telah sepakat bertemu terus menerus hingga
Perancis memiliki konstitusi. Unsur sayap kanan kini mengusulkan pemilu baru,
namun Mirabeau menang, menegaskan bahwa status majelis itu telah berubah secara
fundamental, dan tiada pemilu baru yang terjadi sebelum sempurnanya konstitusi.
Pada akhir
1790, beberapa huru-hara kontrarevolusi kecil-kecilan pecah dan berbagai usaha
terjadi untuk mengembalikan semua atau sebagian pasukan pasukan terhadap
revolusi yang semuanya gagal. Pengadilan kerajaan, dalam kata-kata François Mignet, "mendorong setiap kegiatan antirevolusi dan tak diakui lagi." [1]
Militer
menghadapi sejumlah kerusuhan internal: Jenderal Bouillé berhasil meredam sebuah pemberontakan kecil, yang meninggikan reputasinya
(yang saksama) untuk simpatisan kontrarevolusi.
Kode militer
baru, yang dengannya kenaikan pangkat bergantung senioritas dan bukti
kompetensi (daripada kebangsawanan) mengubah beberapa korps perwira yang ada,
yang yang bergabung dengan pangkat émigré atau menjadi kontrarevolusi dari
dalam.
Masa ini
menyaksikan kebangkitan sejumlah "klub" politik dalam politik
Perancis, yang paling menonjol di antaranya adalah Klub Jacobin: menurut 1911
Encyclopædia Britannica, 152 klub berafiliasi dengan
Jacobin pada tanggal 10 Agustus 1790. Saat Jacobin menjadi organisasi terkenal,
beberapa pendirinya meninggalkannya untuk membentuk Klub '89. Para royalis awalnya mendirikan Club des Impartiaux yang berumur pendek dan kemudian Club Monarchique. Mereka tak berhasil mencoba membujuk dukungan rakyat untuk mencari nama
dengan membagi-bagikan roti; hasilnya, mereka sering menjadi sasaran protes dan
malahan huru-hara, dan pemerintah kotamadya Paris akhirnya menutup Club
Monarchique pada bulan Januari 1791.
Di
tengah-tengah intrik itu, majelis terus berusaha untuk mengembangkan sebuah
konstitusi. Sebuah organisasi yudisial membuat semua hakim sementara dan bebas
dari tahta. Legislator menghapuskan jabatan turunan, kecuali untuk monarki
sendiri. Pengadilan juri dimulai untuk kasus-kasus kejahatan. Raja akan
memiliki kekuasaan khusus untuk mengusulkan perang, kemudian legislator
memutuskan apakah perang diumumkan atau tidak. Majelis itu menghapuskan semua
penghalang perdagangan dan menghapuskan gilda, ketuanan, dan organisasi
pekerja: setiap orang berhak berdagang melalui pembelian surat izin; pemogokan
menjadi ilegal.
Di musim dingin
1791, untuk pertama kalinya majelis tersebut mempertimbangkan legislasi
terhadap émigré. Debat itu mengadu keamanan negara terhadap kebebasan
perorangan untuk pergi. Mirabeau menang atas tindakan itu, yang disebutnya
"patutu ditempatkan di kode Drako." [2]
Namun, Mirabeau
meninggal pada tanggal 2 Maret 1791. Mignet berkata, "Tak seorang pun yang
menyamainya dalam hal kekuatan dan popularitas," dan sebelum akhir tahun,
Majelis Legislatif yang baru akan mengadopsi ukuran "drako" ini.
Pelarian ke Varennes
Louis XVI, yang
ditentang pada masa revolusi, namun menolak bantuan yang kemungkinan berbahaya
ke penguasa Eropa lainnya, membuat kesatuan dengan Jenderal Bouillé, yang
menyalahkan emigrasi dan majelis itu, dan menjanjikannya pengungsian dan
dukungan di kampnya di Montmedy.
Pada malam 20 Juni 1791, keluarga kerajaan lari ke Tuileries. Namun, keesokan harinya, sang
Raja yang terlalu yakin itu dengan sembrono menunjukkan diri. Dikenali dan
ditangkap di Varennes (di département Meuse) di akhir 21 Juni, ia kembali ke Paris di bawah pengawalan.
Pétion, Latour-Maubourg, dan Antoine
Pierre Joseph Marie Barnave, yang mewakili majelis, bertemu
anggota kerajaan itu di Épernay dan kembali dengan mereka. Dari saat ini, Barnave became penasihat dan
pendukung keluarga raja.
Saat mencapai
Paris, kerumunan itu tetap hening. Majelis itu untuk sementara menangguhkan
sang raja. Ia dan Ratu Marie
Antoinette tetap ditempatkan di bawah pengawalan.
Hari-hari terakhir Majelis Konstituante Nasional
Dengan sebagian besar anggota majelis yang masih menginginkan monarki konstitusional daripada republik, sejumlah kelompok itu mencapai kompromi yang membiarkan Louis XVI tidak
lebih dari penguasa boneka: ia terpaksa bersumpah untuk konstitusi, dan sebuah
dekrit menyatakan bahwa mencabut sumpah, mengepalai militer untuk mengumumkan
perang atas bangsa, atau mengizinkan tiap orang untuk berbuat demikian atas
namanya berarti turun tahta secara de facto.
Jacques Pierre Brissot mencadangkan sebuah petisi, bersikeras bahwa di mata bangsa Louis XVI
dijatuhkan sejak pelariannya. Sebuah kerumunan besar berkumpul di Champ-de-Mars untuk menandatangani petisi itu. Georges Danton dan Camille Desmoulins memberikan pidato berapi-api.
Majelis menyerukan pemerintah kotamadya untuk "melestarikan tatanan
masyarakat". Garda Nasional di bawah komando Lafayette menghadapi kerumuman
itu. Pertama kali para prajurit membalas serangan batu dengan menembak ke
udara; kerumunan tidak bubar, dan Lafayette memerintahkan orang-orangnya untuk
menembak ke kerumunan, menyebabkan pembunuhan sebanyak 50 jiwa.
Segera setelah pembantaian itu pemerintah menutup banyak klub patriot,
seperti surat kabar radikal seperti L'Ami du Peuple milik Jean-Paul Marat. Danton lari ke Inggris; Desmoulins dan Marat lari
bersembunyi.
Sementara itu, ancaman baru dari luar muncul: Leopold II, Kaisar Romawi Suci, Friedrich Wilhelm
II dari Prusia, dan saudara raja Charles-Phillipe,
comte d'Artois mengeluarkan Deklarasi Pilnitz yang menganggap perkara Louis XVI seperti perkara mereka sendiri, meminta
pembebasannya secara penuh dan pembubaran majelis itu, dan menjanjikan serangan
ke Perancis atas namanya jika pemerintah revolusi menolak syarat tersebut.
Jika tidak, pernyataan itu secara langsung membahayakan Louis. Orang
Perancis tidak mengindahkan perintah penguasa asing itu, dan ancaman militer
hanya menyebabkan militerisasi perbatasan.
Malahan sebelum "Pelarian ke Varennes", para anggota majelis
telah menentukan untuk menghalangi diri dari legislatur yang akan menggantikan
mereka, Majelis
Legislatif. Kini mereka mengumpulkan sejumlah hukum konstitusi
yang telah mereka sahkan ke dalam konstitusi tunggal, menunjukkan keuletan yang
luar biasa dalam memilih untuk tidak menggunakan hal ini sebagai kesempatan
untuk revisi utama, dan mengajukannya ke Louis XVI yang dipulihkan saat itu,
yang menyetujuinya, menulis "Saya mengajak mempertahankannya di dalam
negeri, mempertahankannya dari semua serangan luar; dan menyebabkan
pengesahannya yang tentu saja ditempatkan di penyelesaian saya". Raja
memuji majelis dan menerima tepukan tangan penuh antusias dari para anggota dan
penonton. Majelis mengakhiri masa jabatannya pada tanggal 29 September 1791.
Mignet menulis,
"Konstitusi 1791... adalah karya kelas menengah, kemudian yang terkuat;
seperti yang diketahui benar, karena kekuatan yang mendominasi pernah mengambil
kepemilikan lembaga itu... Dalam konstitusi ini rakyat adalah sumber semua,
namun tak melaksanakan apapun." [3]
Majelis Legislatif dan kejatuhan monarki
Untuk penjelasan lebih jelas tentang peristiwa antara 1 Oktober 1791 - 19 September 1792, lihat Majelis
Legislatif dan jatuhnya monarki Perancis.
Majelis Legislatif
Di bawah
Konstitusi 1791, Perancis berfungsi sebagai monarki konstitusional. Raja harus
berbagi kekuasaan dengan Majelis
Legislatif yang terpilih, namun ia masih bisa mempertahankan
vetonya dan kemampuan memilih menteri.
Majelis
Legislatif pertama kali bertemu pada tanggal 1 Oktober 1791, dan jatuh dalam keadaan kacau hingga kurang dari setahun berikutnya.
Dalam kata-kata 1911
Encyclopædia Britannica: "Dalam mencba memerintah,
majelis itu sama sekali gagal. Majelis itu membiarkan kekosongan keuangan,
ketidakdisiplinan pasukan dan angkatan laut, dan rakyat yang rusak moralnya
oleh huru-hara yang aman dan berhasil."
Majelis
Legislatif terdiri atas sekitar 165 anggota Feuillant (monarkis konstitusional) di sisi kanan, sekitar 330 Girondin (republikan liberal) dan Jacobin (revolusioner radikal) di sisi kiri, dan sekitar 250 wakil yang tak berafiliasi dengan
faksi apapun.
Sejak awal,
raja memveto legislasi yang mengancam émigré dengan kematian dan hal itu
menyatakan bahwa pendeta non-juri harus menghabiskan 8 hari untuk mengucapkan sumpah sipil yang diamanatkan
oleh Konstitusi Sipil Pendeta. Lebih dari setahun, ketidaksetujuan atas hal ini
akan menimbulkan krisis konstitusi.
Perang
Politik masa
itu membawa Perancis secara tak terelakkan ke arah perang terhadap Austria dan sekutu-sekutunya. Sang Raja, kelompok Feuillant dan Girondin khususnya
menginginkan perang. Sang Raja (dan banyak Feuillant bersamanya) mengharapkan
perang akan menaikkan popularitasnya; ia juga meramalkan kesempatan untuk
memanfaatkan tiap kekalahan: yang hasilnya akan membuatnya lebih kuat. Kelompok
Girondin ingin menyebarkan revolusi ke seluruh Eropa. Hanya beberapa Jacobin
radikal yang menentang perang, lebih memilih konsolidasi dan mengembangkan
revolusi di dalam negeri. Kaisar Austria Leopold II, saudara Marie Antoinette, berharap menghindari perang, namun
meninggal pada tanggal 1 Maret 1792.
Perancis
menyatakan perang pada Austria (20 April 1792) dan Prusia bergabung di pihak Austria beberapa minggu kemudian. Perang Revolusi Perancis telah dimulai.
Setelah
pertempuran kecil awal berlangsung sengit untuk Perancis, pertempuran militer
yang berarti atas perang itu terjadi dengan Pertempuran Valmy yang terjadi antara Perancis dan Prusia (20 September 1792). Meski hujan lebat menghambat resolusi yang menentukan, artileri
Perancis membuktikan keunggulannya. Namun, dari masa ini, Perancis menghadapi
huru-hara dan monarki telah menjadi masa lalu.
Krisis konstitusi
10 Agustus 1792 di Komune Paris
Pada malam 10 Agustus 1792, para pengacau, yang didukung oleh kelompok revolusioner baru Komuni Paris, menyerbu Tuileries. Raja dan ratu akhirnya menjadi tahanan dan sidang
muktamar Majelis Legislatif menunda monarki: tak lebih dari sepertiga wakil,
hampir semuanya Jacobin.
Akhirnya
pemerintahan nasional bergabung pada dukungan commune. Saat commune mengirimkan
sejumlah kelompok pembunuh ke penjara untuk menjagal 1400 korban, dan
mengalamatkan surat edaran ke kota lain di Perancis untuk mengikuti conth
mereka, majelis itu hanya bisa melancarkan perlawanan yang lemah. Keadaan ini
berlangsung terus menerus hingga Konvensi, yang diminta menulis konstitusi baru, bertemu pada tanggal 20 September 1792 dan menjadi pemerintahan de facto baru di Perancis. Di hari
berikutnya konvensi itu menghapuskan monarki dan mendeklarasikan republik.
Tanggal ini kemudian diadopsi sebagai awal Tahun Satu dari Kalender Revolusi Perancis.
Konvensi
Eksekusi Louis XVI
Untuk penjelasan lebih lanjut tentang peristiwa antara
20 September 1792- 26 September 1795, lihat Konvensi
Nasional.
Kuasa
legislatif di republik baru jatuh ke Konvensi, sedangkan kekuasaan eksekutif
jatuh ke sisanya di Komite Keamanan Umum. Kaum Girondin pun menjadi partai paling berpengaruh dalam konvensi dan
komite itu.
Dalam Manifesto Brunswick, tentara kerajaan dan Prusia mengancam pembalasan ke penduduk Perancis
jika hal itu menghambat langkah majunya atau dikembalikannya monarki. Sebagai
akibatnya, Raja Louis dipandang berkonspirasi dengan musuh-musuh Perancis. 17 Januari 1793 menyaksikan tuntutan mati kepada Raja Louis untuk "konspirasi
terhadap kebebasan publik dan keamanan umum" oleh mayoritas lemah di
konvensi. Eksekusi tanggal 21 Januari menimbulkan banyak perang dengan negara Eropa lainnya. Permaisuri Louis
yang kelahiran Austria, Marie Antoinette, menyusulnya ke guillotine pada
tanggal 16 Oktober.
Saat perang
bertambah sengit, harga naik dan sans-culottes (buruh miskin dan Jacobin radikal) memberontak; kegiatan kontrarevolusi
mulai bermunculan di beberapa kawasan. Hal ini mendorong kelompok Jacobin
merebut kekuasaan melalui kup parlemen, yang ditunggangi oleh kekuatan yang
didapatkan dengan menggerakkan dukungan publik terhadap faksi Girondin, dan
dengan memanfaatkan kekuatan khayalak sans-culottes Paris. Kemudian
persekutuan Jacobin dan unsur-unsur sans-culottes menjadi pusat yang
efektif bagi pemerintahan baru. Kebijakan menjadi agak lebih radikal.
Komite Keamanan Publik berada di bawah kendali Maximilien Robespierre, dan Jacobin
melepaskan tali Pemerintahan Teror (1793-1794). Setidaknya 1200 jiwa menemui kematiannya dengan guillotine dsb; setelah tuduhan kontrarevolusi. Gambaran yang sedikit saja atas
pikiran atau kegiatan kontrarevolusi (atau, pada kasus Jacques
Hébert, semangat revolusi yang melebihi semangat kekuasaan)
bisa menyebabkan seseorang dicurigai, dan pengadilan tidak berjalan dengan
teliti.
Pada tahun 1794
Robespierre memerintahkan tokoh-tokoh Jacobin yang ultraradikal dan moderat
dieksekusi; namun, sebagai akibatnya, dukungan rakyat terhadapnya terkikis sama
sekali. Pada tanggal 27 Juli 1794, orang-orang Perancis memberontak terhadap
Pemerintahan Teror yang sudah kelewatan dalam Reaksi Thermidor, yang menyebabkan anggota konvensi yang moderat menjatuhkan hukuman mati
buat Robespierre dan beberapa anggota terkemuka lainnya di Komite Keamanan
Publik. Pemerintahan baru itu sebagian besar tersusun atas Girondis yang lolos
dari teror, dan setelah mengambil kekuasaan menuntut balas dengan penyiksaan
yang juga dilakukan terhadap Jacobin yang telah membantu menjatuhkan
Robespierre, melarang Klub Jacobin, dan menghukum mati sejumlah besar bekas
anggotanya pada apa yang disebut sebagai Teror Putih.
Konvensi
menyetujui "Konstitusi Tahun III" yang baru pada tanggal 17 Agustus 1795; sebuah plebisit meratifikasinya pada bulan September; dan mulai berpengaruh pada tanggal 26 September 1795
Diberdayakan oleh Blogger.
Pages - Menu
About Me
- Rijalul Hilmi